Sejauh ingatan, kehidupanku tidak pernah terkaitan dengan yang namanya pesisir. Kami berpetualang memecah hamparan kebun guna memuaskan perut kecil kami yang tidak sebanding dengan ukurannya. Atau keluar masuk hutan dan mengabaikan terjalnya jurang, demi berburu layang-layang ketika musim kemarau yang rutin mengunjungi desa datang berbarengan dengan hembusan angin.
Semua itu jauh dari memandangi langit sore yang tergantung diatas bentangan laut sambil menunggu biasan sinar matahari yang akan memberikanmu arti sebuah keindahan.
Bagaimana bisa kami melihatnya kalau di depan sana sebongkah tanah -yang kami sebut gunung- menghalangi pendangan jauh sebelum matahari itu mencapai peristirahatannya.
Jangan harap akan terlihat para lelaki berkulit gelap yang menggotong perahunya demi berpetualang di laut lepas sana. Paling hanya para lelaki yang sama gelap kulitnya dengan sebuah cangkul di pundak dan berteteskan peluh di sepanjang dahi mereka.
Waktu kecil aku memang pernah berlibur ke pantai. Atau sekedar melepas lelah sambil duduk di tembok pemecah ombak, sambil sesekali memalingkan wajah ke arah ibu dan saudaraku yang tengah asik dengan deburan ombak yang meluluhlantakkan istana pasir beserta menyapu jejak kaki mereka.
Tak satu pun dari penggalan fragmen itu yang menarik bagiku, kecuali ombak dengan alunannya yang mendayu. Alunan yang memakukan tubuh di tembok pemecah ombak sampai ayah berteriak memanggil saudaraku untuk segera pulang ke kota asal kami.
Provinsi kelahiranku berada di sisi barat pulau ini. Tuntutan pendidikanlah yang membawa ke provinsi di sisi lainnya. Di sinilah aku sekarang, beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda.
Kalian tau kan kampung halamanku, sejauh mata memandang horizon di tutupi hamparan gunung yang menyajikan hawa dingin khas pegunungan. Sesekali kabut gunung yang turun berbarengan dengan rinai menjadi alasan mengapa hidung selalu tersumbat sementara ingus mengalir dari lubang satunnya. Nah disini, jangankan satu onggok gunung, bukit kecil saja tidak pernah ku jumpai. Mungkin ini menjadi alasan mengapa udara yang ada terasa panas gerah, ditambah kota ini terletak di dataran rendah dan kabarnya di bawah sana tertimbun minyak bumi yang cukup untuk membuat saling sikat kepentingan antara perusahaan dan pemerintah daerah.
Satu hal yang sama dengan kampungku hanyalah kabut yang juga rutin menyambani kota ini. Bedanya kalau di kampung dulu kabut gunung yang turun membawa udara yang melegakan tenggorokan, di sini kabut rutin berbahan bakar gambut menjadi alasan mengapa masker lebih banyak beredar dibanding tetesan ingus dari hidung.
Tiga jam perjalan adalah waktu yang harus ditempuh menuju pantai yang berada di ibu kota provinsi kelahiran dari kampung. Belum termasuk sesaknya berimpitan saat menaiki bus yang menghubungkan kota dengan pantai tersebut. Menambah daftar mengapa pantai hanya menjadi pilihan kesekian saat memasuki musim liburan. Apalagi hanya deburan ombak yang kurindukan dari kunjungan sesekali kami. Tak pernah kulihat para nelayan yang tertawa saat bersandar di pohon kelapa usai melaut malam harinya, sambil melihat para pujaan hati mereka menjemur dan menjajalkan ikan hasil tangkapan.
Ya, pantai yang di penuhi dengan gedung-gedung nan jauh dari kata pencakar langit tentu juga jauh dari kata nelayan. Jadi kalian jangan heran kalau aku membayangkan pesisir dengan pantainya adalah wilayah berperadaban maju dan akrab dengan kata tentram. Setidaknya itu yang kutangkap dari film-film hollywood dengan Miami, Los Angeles, ataupun New York mereka.
Pandangan tantang pesisir itu seolah dibanting oleh kawanku. Kulitnya putih berbintik berbeda dengan aku yang hitam berbercak, Inilah bantingan pertama tentang orang pesisir. Berlanjut protes kecilnya saat aku katakan pesisir itu tidak mengasikkan.
“Pesisir itu bukan hanya ombak dan kelapa saja bay.”
“Oh ya? atau para gadis yang berjemur di terik matahari?” Godaku.
“Kau harus lihat perkampungan pesisir. Bukan hanya wisatanya?”
Maka mulailah mulutnya berceloteh, menyisakan sedikit koma apalagi titik. Hanya anggukan yang mampu aku berikan, diluar paham tidak dengan segerombolan kalimat yang tak kunjung berhenti itu. Wajahku yang mendongak menatap entah kemana membayangkan kampung pesisir sebisa kemampuan menangkap laju mulutnya.
Akhirnya pandangan menyatu dengan khayal. Menjadikan langit diatas sana seumpama sehelai kanvas, menyisihkan suara kawan tadi yang terdengar samar dan semakin samar. Layaknya backsound dalam sebuah film layar lebar.
Dimulai dari dua orang nelayan yang menambatkan perahu dibawah pohon mangrove. Jala yang menjadi penyambung hidup mereka tampak tergeletak di pojokan sana. Bau amis khas ikan langsung menyambar hidung. Ada sesuatu yang terlihat pada wajah-wajah itu. Hasil tangkapan yang tak seberapa akan dijemur tidak jauh dari tempat perahu mereka bersandar. Selanjutnya para kaum wanita akan menjajalkan dagangan mereka di pelelangan yang tidak jauh dari bibir pantai. Para toke ikan juga tak kalah sibuknya. Berbekal kalkulator tua yang mereka pengang, mencari mangsa yang siap menjual dagangan mereka.
“Aih,,,,,, segitu jugu cukup lah.” Mata toke yang fokus ke kalkulator sekarang berpindah ke perempuan di depannya. “Mana ada uangku kalau dinaikan lagi. Kalau kau tak mau ya sudah”.
“Nambah lima ribu aja per kilonya Mak!”
“Ah,, ya sudah. Tapi besok kau jualnya ke aku lagi ya!”
“Tentu itu Mak”. Bagai manapun yang terpenting ikan itu harus terjual, kalau tidak jangankan periuk yang berasap, secangkir kopi untuk suami pun mana bisa dia hidangkan. Masalah besok ya besok.
Sedikit menelusuri jalan setapak yang berada tepat di tengah-tengah pelelangan ikan itu terbentang perumahan pesisir. Sekilas bisa dibayangkan deretan rumah yang terkesan sama itu seperti onggokan perahu yang tengah menepi. Beberapa rumah memang berada didaratan. Beberapa lagi terapung dengan sistem rumah panggung dan dihubungkan melalui jalan setapak dari papan kayu. Beberapa helai papan itu ompong, entah lapuk atau patah karena beban yang harus dipikulnya. Dari celah itu dapat kita lihat udang yang bersembunyi mungkin karena malu.
Jala-jala yang masih setengah terajut berjejer di sepanjang buluh yang lebih menyerupai pagar ketimbang tempat penggantungan jala. Rajutan jala yang terkesan agak renggang pasti mudah dilalui oleh ikan ikan kecil.
Bagi mereka laut bukan hanya sumber kehidupan, laut adalah bagian dari hidup. Inilah kiranya yang membedakan tangan mereka dengan tangan rakus para pelaut serakah. Saat segerombolan pelaut melemparkan jala berajut rapat sehingga tidak membiarkan ikan terkecil pun lepas dari nasip naasnya. Mereka hanya mendesah kecil akibat butiran keringat yang timbul lebih banyak ketimbang tangkapan mereka.
Itulah kiranya yang dapat aku tangkap dari raut wajah dua nelayan yang tadi menambatkan perahu di bawah pohon mangrove. Beban akan tuntutan ekonomi ditambah kekhawatiran akan harga minyak yang siap melonjak. Jiwa pelaut yang terkesan gagah dengan keberanian menantang hidup meluluhkan keletihan mereka kala antri berjam jam guna mendapat satu jerigen bahan bakar.
Lamunan itu menguap seiring si kawan yang masih terus berceloteh memukul bahuku, sembari memasang muka kesal dengan mata melotot. Melontarkan serapah yang kusambut dengan tawa saat dia bertanya apakah aku mendengarkan kalimat yang dia lontar sepanjang sore ini.
Sore yang indah. Serta fragmen masa kecil kala menanti warna menawan yang di hasilkan mentari di akhir kunjungan itu melintas, walau sekejap. Sebait senyum mengembang di pipiku.
***
Kamar Sempit. September 2014
Tulisan ini awalnya dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan arsitektur pesisir pada jurusan arsitektur Universitas Riau
Kiriman Tulisan pembaca blog ini dapat dilihat di rubrik Partisipatif.