Kapan terakhir kali ncik dan puan berkunjung ke museum? Terkhusus bagi di Pekanbaru, kapan terakhir kali mengunjungi Museum Sang Nila Utama?
Sang Nila Utama didirikan pada 1991, namanya sendiri, diambil dari nama seorang tokoh Melayu yang mendirikan Temasek atau Kota Singapura.
Jika rasanya sudah lama tak mampir, mari sekali lagi berkunjung ke sana. Atau jika yang belum pergi, jangan sampai tempat kunjungan kita hanya sebatas berkeliling mal saja.
Dua bulan lalu, saya dan seorang teman kampus, Latif, berkunjung ke tempat benda pusaka ini. Letaknya di Jalan Sudirman, Pekanbaru, di seberang kantor wakil-wakil kite, DPRD. Sebenarnya, ini kali ketiga saya bertandang. Sebelumnya, saya sudah datang dahulu, pada 2009 menyusul 2014. Kata kawan saya, sudah macam pilpres saja, lima tahun sekali.
Untuk masuk ke museum, kita harus menaiki belasan anak tangga. Tangga di sisi depan bangunan ini menjadi akses utama dari luar menuju ke dalam. Di sisi kiri dan kanan juga terdapat tangga, namun keduanya jarang digunakan pengunjung. Maklum, biasanya kita lebih suka yang dekat-dekat aja. Sedangkan dua buah tangga lainnya, lebih sering dipakai pengelola.
Namun, hal ini tentunya menghambat kawan-kawan penyandang disabilitas. Tak ada ramp buat para Tunadaksa. Ia merupakan sebuah bidang miring pada bangunan sebagai pengganti tangga.
Jika tetap mengandalkan tangga sebagai akses menuju ruang pamer, Tunadaksa yang menggunakan kursi roda tak akan pernah menikmati koleksi bersejarah yang ada di Museum Sang Nila Utama.
Setelah melewati tangga dan tiba di beranda lantai dua, kita akan langsung dapat mengamati ruang pamer. Kita dapat melihatnya di lantai pertama dan kedua. Tak ada perubahan suasana signifikan yang saya rasakan saat akan masuk sejak dahulu kala. Baik dari koleksi, serta tata letak objek.
Awalnya, pengunjung disambut di meja resepsionis. Hawa sejuk mulai terasa, hembusan dari pendingin ruangan portabel. Setelahnya, akan diminta membayar tiket, tak lupa mengisi buku tamu. Penerapan tiket masuk baru berlaku tahun ini.
Saat mulai menyusur objek museum satu persatu, suasana panas mulai terasa. Udara dingin buatan hilang, rupanya benda tadi hanya ada didekat si resepsionis. Hawa dingin hanya dirasakan beberapa titik saja.
Penghawaan alami di ruang pamer ini hanya mengandalkan jendela dengan ketinggian sekitar empat meter dari dasar lantai.
Udara yang masuk tak efektif mengisi ruangan keseluruhan. Padahal, saat itu hanya kami berdua yang sedang berkeliling di sana. Sungguh sulit dibayangkan, jika ada kunjungan yang ramai. Misalnya tamasya anak SD, udara panas ala Riau akan mengaduk bau kaus kaki serta asamnya keringat jadi satu.
Jika pengunjung tidak di lantai satu, pastilah akan merasakan gelap yang merayap di beberapa titik. Kurangnya pencahayaan menjadi sebab, agar objek museum dapat terlihat jelas, pengelola memasang lampu sorot.
Beberapa waktu lalu, Sekolah Dasar dari Yogyakarta berkunjung. Siswa dan para guru juga mengeluhkan gelapnya museum dan membuat suasana terasa bosan.
Setengah hari kami berdua di sana, tak ada pengunjung lain yang datang. “Sepi Gus, macam kuburan,” kata Latif.
Latif tak keliru. Dilansir traveldetik.com 2014 lalu, Dani Wigatna mengatakan Indonesia itu punya 328 museum, tapi masyarakatnya lebih senang ke kuburan atau ke mal. Beliau adalah Kasubid Pengembangan dan Pemanfaatan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum Kemendikbud.
Fuad Akbar, Mahasiswa Prodi Pariwisata Universitas Riau pada 2017 melakukan penelitian skrispsinya di museum ini. ‘Pengelolaan Fasilitas di Museum Sang Nila Utama Provinsi Riau’ yang menjadi judul tugas akhirnya itu.
Kesimpulannya? Alamak, fasilitas di museum masih belum memadai. Bahkan ada juga sarana dan prasarana yang tidak bisa digunakan dengan baik.
Sebenarnya, dari segi pengelolaan, salah satu kendala adalah keterbatasan dana. Bahkan di tahun yang sama, pada 2017 lalu, pengelola museum kecolongan. Delapan benda pusaka museum hilang. Kamera pengawas yang dipasang sejak 2010 saat itu sedang tak berfungsi.
Kedelapan benda itu ialah Kendi Janggut, Kendi VOC, Seladon Emas, Pedang Melayu, dan Empat Keris Melayu. Ahh, sudah, mampuslah awak kene ajab .
Padahal saat itu Pemerintah tengah menggalakkan sloganRiau “Homeland of Melayu.” Kenapa slogan itu tak sejalan dengan kehilangan benda sejarah tadi? Beberapa mahasiswa yang peduli dengan sejarah sempat melakukan aksi menyemai tolak bala di depan museum.
Agar terus berbenah, pengelola Museum Sang Nila Utama tentu harus terus membutuhkan masukan dan pemasukan dari berbagai pihak. Agar ramai pengunjungnya, dan tak sepi macam kuburan. Eh tesilap, lebih ramai kuburan maksud saya.
Saya teringat kutipan Ghazul dalam Film Gundala Putra Petir “Museum adalah sejarah yang jujur ketimbang buku.”
Jika kita kaitkan dengan kondisi Museum Sang Nila Utama ini, pastilah tempat benda-benda bersejarah ini memperlihatkan pengelolaan perkenalan budaya dan sejarah di Riau masih belum maksimal serta tak dapat memenuhi harapan.
Atau jangan-jangan ncik dan puan agaknye punya persepsi tersendiri mengenai cakap Ghazul dalam Film Gundala Putra Petir tersebut dan mengaitkannya dengan kondisi Museum Sang Nila saat ini?
Jika ncik dan puan belum memiliki gambaran, sile datang lagi ke Museum Sang Nila Utama. Jangan lupe, ajak kawan, keluarga, pasangan, rekan kerja atau selingkuhan biar ramai.
Dengan menjadikan museum sebagai salah satu alternatif wisata selain mal dan tempat belanja, siapa tau si do’i jadi tersanjung, sebab diajak ke tempat yang bersejarah, kan kesannya penuh intelektual.
Jika setelah berkunjung timbul hasrat nak balek lagi ke situ, saya rase pengelola sudah berhasil menyajikan suasana museum yang nyaman dan menarik bagi pengunjung.#
*Tulisan ini dapat dilihat juga di Minda.id