Mengunjungi Museum Bahari, salah satu museum yang menjadi saksi pendudukan Belanda di Indonesia.
Seorang pria tengah melihat sebuah lukisan yang sedang dipajang. Kemudian ia memberitahu ketiga anaknya seputar lukisan itu, lukisan yang menggambarkan Kota Jakarta -yang dahulu bernama batavia- dengan pelabuhan sunda kelapa dan beberapa benteng sebagai objek utamanya.
Lukisan dengan perspektif burung itu berada di Westzijdsche Pakhuizen, sebuah gudang bekas milik Vereeningde Indische Compagnie, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan VOC, sebuah persekutuan dagang asal Belanda yang memonopoli aktivitas perdagangan di Asia. Persekutuan ini berdiri pada 20 Maret 1602. VOC dinyatakan bangkrut dan bubar pada 31 Desember 1799, hak miliknya lalu berada di bawah penguasaan Kerajaan Belanda.
Dalam bahasa belanda, Westzijdsche Pakhuizen artinya Gudang Tepi Barat. Sejarahnya, usai VOC mendapatkan izin untuk berdagang di Kota Tua, VOC membangun dua pergudangan, salah satunya Westzijdsche Pakhuizen yang berada di sisi barat kali besar. Di gudang ini disimpan rempah-rempah seperti pala, lada, dan kopi. Rempah-rempah tersebut akan dijual kepada para pelayar dari Benua Eropa, India, China, dan negara-negara lainnya.
Pada 7 Juli 1977, bangunan gudang tersebut dijadikan museum, namanya Museum Bahari. Sekarang museum ini dikelola oleh Unit Pengelola Museum Kebaharian, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bahari memiliki tiga makna yang berbeda, yang pertama berarti dahulu kala. Kata ini berasal dari bahasa Banjar. Arti yang kedua berarti elok atau indah. Yang terakhir berarti laut atau kelautan.
Berdasarkan data dari web resmi Museum Bahari, lebih kurang 600 koleksi disimpan di museum ini. Koleksi tersebut berupa berbagai alat transportasi air, teknologi-teknologi pelayaran, biota laut dan berbagai patung tokoh-tokoh pelayaran.
Museum ini terletak di Jalan Pasar Ikan No.1 Penjaringan Jakarta Utara. Jika sedang tidak membawa kendaraan pribadi, calon pengunjung dapat menaiki Kereta Rel Listrik dengan tujuan Stasiun Jakarta Kota. Dari stasiun Jakarta Kota ke Museum Bahari jaraknya sekitar dua kilometer. Pengunjung dapat memilih menaiki ojek online atau berjalan kaki menuju museum tersebut. Di stasiun Jakarta Kota sendiri tak jauh dari Kawasan Kota Tua yang terdiri dari beberapa museum.
Karena letaknya yang agak jauh dari Stasiun Jakarta Kota maupun Kota Tua, Museum Bahari jarang dikunjungi ketimbang museum lainnya yang berada di Kawasan Kota Tua.
Saya mengunjunginya lima hari setelah lebaran idul fitri 1443 H yang lalu. Pengunjung saat itu tidak ramai. Selain saya dan bapak beserta ketiga anaknya. Ada sekitar tujuh orang yang lainnya yang bersamaan masuk museum bersama saya. Dua diantaranya turis dari Jepang. Ini saya tahu saat ketika mengisi buku tamu.
Usai mengisi buku tamu, saya lalu membayar tiket.
Pengunjung dewasa dikenakan biaya 5000 rupiah. Untuk mahasiswa dan pelajar masing-masing 3000 dan 2000 rupiah.
Resepsionis mengarahkan saya ke area museum Bahari sembari memberi dua brosur dan satu buku panduan. Kedua brosur tersebut berupa objek wisata Museum Bahari dan Rumah Si Pitung, sedangkan yang satunya buku panduan daftar kuliner dan spa yang ada di Jakarta.
“Tiketnya untuk dua tempat sekaligus”, jelasnya kepada saya. Kedua tempat yang dimaksud adalah Kawasan Gudang Tua VOC dan Menara Syahbandar. Keduanya dipisahkan oleh jalan pasar ikan.
Saya terlebih dahulu menuju Area Gudang Tua VOC. Area bangunan Gudang terdiri dari tiga massa bangunan, bangunan Gedung A,B dan C.
Area Gudang Tua ini dirancang oleh Ir. Jacques Bollan, dan didirikan dalam beberapa tahap yang dimulai pada tahun 1652, setengah abad setelah VOC didirikan.
Ketiga bangunan tersebut memiliki dua lantai ditambah satu lantai attic. Atapnya berbentuk pelana. Pada atapnya, terdapat dormer, sebuah jendela yang diletakkan di bagian atap. Ini menjadi salah satu ciri khas Arsitektur Kolonial Belanda yang menyesuaikan kondisi iklim tropis di Indonesia.
Bangunan A merupakan bangunan memanjang sekitar 150 meter, ia sejajar dengan jalan pasar ikan. Saat akan memasuki gedung ini, pengunjung disambut oleh dua jangkar hitam. Pada bagian depan juga terdapat tembok, bekas dari tembok batavia, batas kota saat itu.
Setelah memasuki lobby Gedung A, saya langsung berpindah ke Ruang Awal Perkembangan Pelayaran Nusantara. Disana terdapat alat transportasi air yang berasal dari dari berbagai penjuru Indonesia.
Saya lalu pindah ke ruang sebelahnya. Ruangan ini sama luasnya dengan ruang pertama. Ruangan ini merupakan Ruang Perkembangan Pelayaran Nusantara pada abad 7-15 Masehi.
Pada salah satu sudut, saya melihat miniatur yang tak asing lagi bagi saya. Yaitu, kapal lancang kuning. Kapal yang dahulunya digunakan para raja di wilayah Riau. Nama kapal ini dijadikan julukan provinsi ini, yaitu Bumi Lancang Kuning.
Selain itu, juga terdapat beberapa kapal dari berbagai daerah lainnya, seperti kapal Jukung dari Kalimantan dan Phinisi dari Makassar. Selain label nama perahu dan asalnya, di museum ini juga menjelaskan bahan, teknik dan bentuk kapal/perahunya juga bagian-bagian perahunya.
Usai melihat kedua ruangan tersebut, saya pindah ke lantai dua Gedung A melalui tangga kayu.
Memasuki ruangan di lantai dua, saya melihat Patung Laksmana Malahayati. Ia seorang pahlawan dari Aceh. Suaminya, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief gugur ketika menghadapi Portugis. Pada 1599, Malahayati bersama 2000 orang pasukan inong balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Pada pertempuran itu, Cornelis de Houtman tewas.
De Houtman merupakan orang Belanda pertama yang mencapai Nusantara, tepatnya di Banten pada 1596. Empat tahun sebelumnya, ia memperoleh informasi seputar Banten ketika berada di Portugis. Informasi itu mengatakan ada tempat yang paling tepat untuk membeli rempah-rempah di negeri timur jauh sana, bernama Banten.
Tentunya patung De Houtman juga ada di museum ini. Ia digambarkan sedang berbicara dengan penduduk setempat.
Selain patung kedua tokoh tersebut, juga terdapat belasan patung tokoh pelayaran lainnya yang terdapat museum ini.
Setelah keluar gedung A, saya lalu menuju gedung C. Di Gedung ini terdapat koleksi perahu asli dari berbagai daerah. Semua kapal asli tradisional didatangkan langsung dari berbagai daerah di Indonesia. Tak hanya kapal, alat navigasi dan perlengkapan pelayaran lainnya juga ada di museum ini.
Usai berkeliling ke tiga gedung tersebut, saya meneruskan kunjungan ke Menara Syahbandar. Menara dengan tinggi 12 meter ini dibangun sekitar tahun 1839. Fungsinya sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia lewat jalur laut. Selain itu, bangunan ini berfungsi sebagai tempat mengumpulkan pajak barang-barang yang dibongkar di pelabuhan Sunda Kelapa. Pada dasar bangunan ini, terdapat batu bertuliskan aksara cina yang menandakan titik nol Kota Batavia dahulunya.
Dengan menaiki anak tangga berbahan kayu, kita akan sampai ke puncak menara. Dari atas, kita bisa melihat suasana Pelabuhan Sunda Kelapa dan permukiman disekitarnya.
Pemandangan di Menara Syahbandar ini menjadi salah satu daya tarik untuk mengunjungi museum ini, yang membuat tak kalah apiknya dengan mengunjungi kelima museum lainnya di kawasan kota tua.
***
Sembari menikmati pemandangan, rekonstruksi kedatangan kapal Cornelis de Houtman di Sunda Kelapa dengan sendirinya menari di kepala, kedatangan yang semula mencari rempah-rempah, berujung kolonialisme di Nusantara.
Referensi tambahan:
https://www.mitramuseumjakarta.org/bahari
http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2015090300099/kompleks-museum-bahari
https://tirto.id/indonesia-dijajah-belanda-gara-gara-cornelis-de-houtman-cM3v