Saya, Wilingga dan Eko Permadi berbual-bual usai rapat di Bahana di kampus Unri Gobah, akhir September 2018. Disana kami kepikiran untuk membeli domain buat blog masing-masing. Harapannya ya, bakal memotivasi buat menulis, mengisi blog pribadi. Wacana itu akhirnya terealisasi tak lama setelah itu.
Awalnya wilingga duluan. Beberapa minggu kemudian, saya menyusul. Tanggal 19 Desember 2018, saya minta bantu Eko buat mengurus administrasinya. Jadilah, hari itu resmi agusalfinanda.com meluncur.
Langkah pertamanya tentunya mengisinya dengan tulisan. Untuk itu saya langsung mengimpor tulisan dari blog saya yang sudah ada.
Tiga tahun berlalu, blog ini juga tak kunjung bertambah produk tulisannyanya, alih-alih masuk radar alexa, domain authoritynya pun hanya bernilai 2 (dari skala 1-100).
Tulisan baru yang ditambahkan setelah mengimpor adalah tulisan Siapa yang mau saya ajak ke museum sang nila utama pada Maret 2020. Tulisan itu ialah pengalaman ketiga kalinya saya mengunjungi museum yang terletak di seberang Kantor DPRD Riau itu. Tulisan ini pun sebenarnya juga tulisan yang saya isi dari minda.id, sebuah web kecil-kecilan, yang kami bikin untuk menampung hobi menulis.
Tulisan baru, yang kedua dan ketiga pecah telur di dua bulan berikutnya, Maret dan April 2020. Praktis tiga tulisan itulah yang mengisi blog ini pada 2020.
Di 2021 tak juga terjadi peningkatan jumlah tulisan. Tetap tiga tulisan yang diisi. Bahkan, satu tulisan, Pesisir dan Lamunan merupakan titipan dari Irsyad, teman saya.
Kaleidoskop Tahun 2021
Untuk memperingati 3 tahun blog ini muncul, awalnya saya hendak bikin semacam kaleidoskop, misalnya tiga tulisan paling banyak dibaca atau tiga tullisan yang berkesan di 2021.
Melihat jumlah tulisan yang saya tulis, mustahil buat kaleidoskop tersebut, wong tulisannya jumlahnya tiga. Akhirnya saya putuskan buat menulis semacam behind the scene dua tulisan yang saya tulis. (Sebelum membaca bts ini, disarankan membaca kedua tulisan tersebut dari awal hingga akhir)
Tulisan Bikin Film Dokumenter di Rupat Utara ini sebenarnya sudah direncanakan sejak November 2020. Tercetus ide untuk menulis ini karena mengingat 1 Januari akan tiba, tulisan ini direncanakan akan diposting pada 1 Januari 2021, tepat 7 tahun setelah perjalanan kami melewati penggantian tahun baru di Rupat Utara. Penerbitan tulisan molor dari yang dijadwalkan, 51 hari kemudian baru tulisan ini diterbitkan.
Awalnya saya menuliskan momen-momen yang paling saya ingat. Ada sekitar dua halaman tulisan draft awal. Lalu saya menghubungi Ikrom, ia menjadi narasumber pertama buat tulisan ini. Metodenya, saya bacakan ringkasan draft yang saya tulis, lalu meminta ia mengoreksi dan menambahkan poin-poin jika ada yang kurang.
Ikrom langsung mengoreksi peristiwa yang tak sesuai linimasa. Beruntung, Ikrom masih ingat dengan baik rangkaian hari demi hari dengan runut, meski ia sempat berpisah rombongan saat pergi dan pulang dengan kami. Selanjutnya yang saya wawancarai ialah Takin dan Rezky Yusuf. Takin merupakan Penanggung jawab di perjalanan. Sedangkan Rezky Yusuf, yang sebelumnya sudah pernah mengunjungi rupat utara.
Untuk mewancarai mereka, kami mengatur jadwal di malam hari, mengingat kesibukan kegiatan masing-masing.
La banyak lupo den gus, kata Takin. Jawabnya saat saya menanyakan perjalanan dari awal hingga pulang, akhirnya saya membaca ulang hasil draf tulisan saya ditambah dengan koreksi dari Ikrom.
Oh, ingek den, ingek. Kata takin. Saat saya menanyakan sesuatu momen kepadanya, lalu ia menceritakan beberapa peristiwa yang ia ingat, jika ada sesuatu informasi baru dari Takin, maka saya lalu mencatatnya.
Metode tersebut saya gunakan saat mewawancarai teman yang lain, seperti Owen Putra, Hardi ataupun Rezky Yusuf. Dari Hardi juga saya dapatkan foto-foto pendukung untuk tulisan ini. Untuk menambah koleksi foto lainnya, saya ambil dari akun Facebook Rizki Ananda, Delvira dan Neni Meilani.
Untuk menambah referensi tulisan, saya masukkan sumber literatur berupa buku tentang Rupat. Salah satunya Suku Akit di Rupat Utara yang ditulis Julianus P Limbeng. Mayoritas penduduk Rupat merupakan suku akit.
Saya juga mencari berkas di laptop buat menjadi bahan pendukung tulisan. Beruntung, rekaman suara dengan Pak Rijal masih tersimpan. Saya dan Laili mewawancarai beliau saat sedang mengobrol dengan teman-teman di tepi pantai, untuk keperluan video dokumenter saat itu. Usai tulisan tersebut diterbitkan, saya membagikan linknya di grup angkatan agar bisa dapat dibaca oleh temna-teman lainnya.
Tulisan Memimpikan Kota Berkelanjutan untuk Semua terbit akhir oktober lalu. Ide awal untuk kembali menulis bedah buku adalah setelah melihat tweet Prof. Ariel Haryanto di rubrik Analisis Budaya, Harian Kompas mengenai Buku. Dengan mengulas buku, kita turut memacu inovasi, menyegarkan industri penerbitan, toko buku dan karir desain grafis.
Buku ini saya beli di Gramedia WR. Supratman, saya pikir judulnya menarik, Kota Untuk Semua. Penulisnya Wicaksono Sarosa, yang tunak di bidang perencanaan kota di Indonesia. Lulusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung ini pernah menjadi Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan pada 2014-2019. Dalam 17 poin SDGs, Kota dan Permukiman berkelanjutan merupakan salah satu perhatian khusus, yang dituangkan dalam poin 11. Penulis mengurai dua program besar, yaitu Suistanable Development Goals dan New Urban Agenda. Kedua Program kemudian diselaraskan dengan Kota Untuk Semua.
***
Semula tulisan ini hendak diposting pada 19 Desember lalu, namun blog ini saat itu tak dapat dibuka. Server yang digunakan blog ini ikut terdampak oleh kebakaran di Gedung Cyber I. Tulisan ini akhirnya saya posting pada 31 Desember, sebagai penutup 2021. Semoga, tahun depan, tulisannya semakin bertambah, baik dari kuantitas maupun berkualitas. Terima kasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Selamat Tahun Baru 2022.