Resensi buku “Kota Untuk Semua: Hunian yang selaras dengan Suistainable Development Goals dan New Urban Agenda”
Buku ini diawali dengan memaparkan fakta terkini mengenai kehidupan di wilayah Perkotaan. Meski kepadatan tempat tinggal manusia yang relatif tinggi sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Namun, baru sejak tahun 2007, jumlah penduduk bumi yang tinggal di perkotaan lebih banyak dibandingkan di kawasan non-perkotaan. Menurut data World Bank, jumlahnya akan terus meningkat hingga mencapai angka 68% pada 2050.
Di Indonesia sendiri, diperkirakan tingkat urbanisasi akan mencapai angkat 73% pada tahun 2045 – 100 tahun setelah Indonesia merdeka.
Urbanisasi secara populer diartikan berpindahnya penduduk desa ke kota. Namun, secara akademis ia dapat diartikan sebagai proses semakin banyaknya penduduk tinggal di kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, migrasi atau berpindahnya penduduk dari desa ke kota. Kedua, Kelahiran natural di dalam kota, sehingga menambah jumlah penduduk kota, dan ketiga alih fungsi lahan pedesaan menjadi lahan perkotaan.
Bak mata uang, pertumbuhan kota menimbulkan sisi positif dan negatif.
Dari segi positif, meningkatnya pertumbuhan penduduk juga meningkatkan perekonomian. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1996-2016, setiap kenaikan satu persen tingkat urbanisasi di Indonesia berkolerasi dengan peningkatan PDB Per Kapita sebesar 1,4%. Angka ini tertinggal dari negara Asia-Pasifik lainnya, yang sekitar 2,7%. Tiongkok sendiri mengalami kenaikan PDB per kapita 3,0%.
Dari sisi negatif, dapat dilihat melalui dampak terhadap alam dan dampak secara sosial.
Dampak terhadap alam seperti berubahnya ekosistem, kurangnya keanekaragaman hayati dikarenakan bentang alam yang diubah secara masif, seperti memangkas bukit, membabat hutan, dan lain lain.
Dampak secara sosial dapat dilihat dari menurunnya modal sosial di masyarakat kota, seiring dengan meningkatnya individualisme. Tradisi guyub dan bergotong royong mulai hilang di kehidupan warga. Generalisasi ini mungkin dapat dianggap berlebihan (over-simplication), karena tidak semua kelompok masyarakat kota mengalami penurunan modal sosial. Masih terdapat kelompok masyarakat yang memilik modal sosial kuat. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat perkotaan cenderung memiliki modal sosial yang lebih tipis daripada masyarakat perkotaan.
Selain itu, ketimpangan sosial juga terjadi di beberapa kota besar. Gini Ratio masih menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi para kepala daerah.
Ada dua program besar yang coba diurai penulis, yang kemdian diselaraskan dengan Kota Untuk Semua. Dua program tersebut ialah Suistanable Development Goals atau yang lebih dikenal dengan SDGs. Yang kedua, New Urban Agenda atau NUA.
Kota yang selaras dengan SDGs
SDGs merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Rencana Aksi ini ditepkan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 25 September 2015. Kurang lebih 193 kepala negara hadir, termasuk Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla turut mengesahkan Agenda SDGs. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Dari ke17 Tujuan SDGs tersebut, penulis menguraikan poin demi poin SDGs yang diselaraskan dengan kota dan menjabarkan 60 karakteristik.
Ketujuh belas poin kota yang selaras dengan SDGs tersebut adalah:
- Kota yang turut menghapus kemiskinan
- Kota yang menguatkan ketahanan pangan
- Kota yang menyehatkan
- Kota yang mengedukasi
- Kota peka gender
- Kota dengan air bersih dan sanitasi yang layak bagi semua
- Kota berenergi bersih
- Kota dengan pekerjaan dan lingkungan kerja yang layak bagi semua
- Kota berinfrastruktur cerdas bagi industri yang inklusif
- Kota yang mengurangi kesenjangan
- Kota dan permukiman yang berkelanjutan
- Kota dengan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab
- Kota yang responsif perubahan iklim
- Kota yang turut menjaga ekosistem lautan
- Kota yang menjaga ekosistem daratan
- Kota yang adil, damai dan terkelola baik
- Kota yang mendukung kemitraan multipihak
Selain itu penulis juga membagi 60 karakteristik kota tersebut ke dalam tiga kelompok atau atribut.
Atribut Primer pertama, kota harus secara sosial-ekonomi-politis inklusif, baik bagi penduduk kota terkait maupun penduduk wilayah lain yang berkaitan. Kota tersebut harus bermanfaat dan dapat menyejahterakan sebanyak mungkin manusia dengan berbagai latar belakang dan kondisi. Kebijakan Afirmatif perlu dilakukan dengan mengutamakan kelompok rentan dan mereka yang selama ini terpinggirkan oleh sistem maupun kebijakan yang ada. Kota harus menjadi ruang kolaborasi antarwarga dengan latar belakang yang berbeda serta berkolaborasi dengan daerah lain yang terkait.
Atribut primer kedua, kota harus ramah terhadap lingkungan dengan sesedikit mungkin menyedot sumber daya alam dan sedikit mungkin membuang limbah. Lebih baik lagi jika kota dapat ikut berkobntribusi dalam regenarasi lingkungan alam, aktif dalam upaya konservasi, baik di dalam maupun di luar wilayah kota, sehingga keberadaan kota justru memperbaiki kondisi lingkungan secara keseluruhan. Pada saat yang sama, kota juga harus tangguh terhadap kemungkinan bencana, baik yang bersifat alami maupun yang diakibatkan perilaku manusia.
Atribut Primer yang ketiga, kota harus layak dihuni sekaligus mengedukasi dan menyehatkan warganya. Layak huni yang dimaksud tidak hanya dalam wujud fisijk berupa sarana dan prasarana seperti air bersih, sanitasi sehat, transportasi lancar dan terjangkau, tetapi juga berarti kota tersebut harus memanusiakan warganya maupun siapapun yang mengunjungi kota tersebut.
Secara realistis kota bisa mengupayakan dengan bertahap, sedikit demi sedikit. Tidak mudah, tetapi juga tidak mustahil.
Kota yang selaras dengan New Urban Agenda
Selain mengacu kepada SDGs, penulis mencoba membayangkan kota yang selaras dengan New Urban Agenda / Agenda baru perkotaan.
NUA merupakan bentuk komitmen global yang tidak mengikat (non-binding) dari 167 negara yang hadir di Quito, Ekuador pada tahun 2016. Tujuannya untuk mewujudkan perkotaan dan permukiman yang berkelanjutan. NUA disusun untuk mendorong aksi-aksi dan solusi tingkat lokal untuk mengatasi berbagai isu dan permasalahan perkotaan.
Meskipun tidak mengikat secara hukum, NUA diharapkan dapat menjadi panduan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi masyarakat, sektor swasta, komunitas filantropi, akademisi, dan masyarakat pada umumnya untuk melangkah bersama-sama mewujudkan kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Secara spesifik, NUA mengandung setidaknya tiga visi bersama terkait kota seperti apa yang diinginkan warga dunia, yaitu: Kota untuk Semua, Hak dan peluang yang sama bagi semua pihak serta kota dan permukiman yang berkelanjutan.
Tantangan mewujudkan Kota yang selaras dengan SDGs dan NUA
Pada bab keempat buku ini mencoba menguraikan berbagai tantangan yang yang akan dihadapi jika mewujudkan kota yang selaras dengan dua program yang dijelaskan.
Jika kita masih bersikap business as usual, yaitu dengan memecahkan berbagai masalah secara sporadis, bukan tidak mungkin mimpi buruk akan terjadi. Kota akan kewalahan dalam memenuhi kebutuhan warganya yang semakin kritis dan sadar akan hak-haknya.
Meskipun begitu, kita pun tidak perlu pesimistis. Selalu ada peluang kemunculan Pemimpin daerah (dan nasional) yang visioner sekaligus mampu mewujudkan visinya tersebut, dibantu oleh birokrasi yang andal dan responsif, serta mendapat dukungan dari masyarakat sipil yang aktif-partisipatif tetapi tetap kritis. Tak lupa juga peran swasta yang turut menciptakan kemakmuran bersama.
Penulis mengambil pendekatan antroposentris – paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada spesies hewan – prinsip kota untuk semua memiliki pengertian bahwa kota dan segala fasilitasnya haruslah terbuka dan dapat diakses oleh semua kalangan, baik kalangan atas, menengah maupun bawah, yang memiliki kemampuan biasa maupun yang memiliki kemampuan berbeda (difabel). David Harvey, seorang Dosen Kehormatan Antropologi dan Geografi di Graduate Center of the City University of New York (CUNY) menjelaskan sifat keterbukaan kota dari berbagai kalangan untuk mengubah kotanya sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hak atas kota juga menekankan bahwa setiap warga memiliki hak dan peluang yang sama untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik di kota.
Judul : Kota Untuk Semua
Penulis : Wicaksono Sarosa
Penerbit : exposé
Tahun terbit : 2020
1 thought on “Memimpikan Kota Berkelanjutan untuk Semua”