Secuil perjalanan mengunjungi Pulau Rupat, salah satu pulau terluar di Indonesia. Belajar arsitektur dan budaya di kawasan pesisir selat Malaka.
“Tugas Kalian Bikin Film Dokumenter di Pulau Rupat” kata Pak Rijal yang sedang mengajar di Ruang Seminar B.
Film dokumenter merupakan luaran tugas akhir mata kuliah Arsitektur Pesisir. Setiap kelompok akan memutarnya saat Ujian Akhir Semester dan nantinya juga fardhu ain diunggah di Youtube.
Mata Kuliah Arsitektur Pesisir merupakan mata kuliah wajib di Semester 3 Jurusan Arsitektur Universitas Riau. Belakangan, berganti nama menjadi Arsitektur Pesisir dan Tepian.
Pada tahun 2013, saya dan teman seangkatan mengambil mata kuliah ini. Beberapa senior juga ada yang mengulang kaji mengambil mata kuliah ini. Angkatan sebelumnya juga menjadikan Pulau Rupat sebagai objek tugasnya di mata kuliah yang sama.
Sebelum perjalanan dilakukan, kelas tatap muka tetap dilakukan seperti biasanya.
“Apa itu pesisir?, apakah tepian di sungai tersebut bisa dikatakan pesisir?”, tanya Pak Rijal yang mencoba mendengarkan pendapat kami.
Ada yang menjawab bisa. Ada yang menjawab tidak.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pesisir berarti tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut). Sedangkan untuk sungai, lazimnya menggunakan istilah tepian.
Pak Rijal sempat menyinggung pendekatan perancangan tepian air yang cukup terkenal di Indonesia, yaitu Kali Code di Yogyakarta.
Awalnya, kali code merupakan daerah yang belum tertata. Atas inisiasi Y.B Mangunwijaya – atau biasa dikenal dengan nama Romo Mangun –, kali code ditata dari tahun 1983 hingga 1986.
Sang arsitek merampungkan karyanya secara partisipatif bersama warga. Karya ini kemudian diganjar Aga Khan Awards pada tahun 1992.
Sebelum berangkat, dilakukan pembagian kelompok terlebih dahulu. Dalam satu tim, terdiri dari enam hingga tujuh orang dengan tugas sebagai cameraman, editing video, pembuat naskah dan pengisi suara. Untuk anggota kelompok dibebaskan kepada mahasiswa untuk memilihnya. Sedangkan untuk tema film per kelompok ditentukan melalui undian.
Pak Rijal sudah menetapkan pilihan temanya pada gulungan kertas kecil di atas meja. Setiap kelompok diwakilkan oleh satu orang untuk mengambilnya. Beberapa tema diantaranya pariwisata, rumah tinggal, budaya pesisir dan lain-lain.
Saat kelas usai, kami bentuk panitia kecil yang bertanggung jawab mengurus keberangkatan ke Rupat, terdiri dari Ketua, Bendahara, Perlengkapan dan Dokumentasi. Takin ditunjuk memimpin tim ini.
Senarai perlangkapan yang hendak dibawa, baik pribadi maupun kelompok serta skenario rute perjalanan dicatat di papan tulis. Lalu, kami bagi tugas untuk membawa perlengkapan kelompok yang dibutuhkan, seperti spanduk, tenda dan kamera.
Untuk rute, ada dua pilihan, langsung membawa pribadi kendaraan dari Pekanbaru ke Rupat Utara, atau dari Dumai menggunakan speedboat. Kami pilih opsi pertama yang lebih efektif, mengingat kebutuhan kendaraan saat pengambilan gambar nantinya.
Tiap minggu, Takin memimpin rembuk progres jelang keberangkatan. Yang dibahas seperti kelengkapan tiap kelompok, iuran bersama dan lainnya.
Seminggu sebelum berangkat, kami melakukan asistensi terlebih dahulu dengan Pak Rijal. Kami dari setiap kelompok menceritakan kerangka film yang disusun, senarai pertanyaan dan narasumber, serta objek mana saja yang hendak dituju.
Dari Pekanbaru ke Teluk Rhu
Perjalanan ke rupat dilakukan saat minggu tak tenang, dimana sepulangnya dari rupat, kami nantinya mempersiapkan UAS terutama mata kuliah Desain Arsitektur 3 dan Struktur Konstruksi 2 yang memiliki SKS cukup besar.
Sesuai kesepakatan bersama, sebagian besar perempuan berangkat menaiki travel dari Pekanbaru menuju Dumai. Sisanya bersama kami para laki-laki menggunakan sepeda motor melewati jalan lintas timur sumatera. Dari Dumai, barulah nanti kami semuanya menjelajahi pulau rupat bersama-sama dengan sepeda motor.
Jarak tempuh Pekanbaru menuju pulau rupat sekitar 170 Km.
Awalnya, Di pulau seluas 1500 km persegi ini hanya terdapat satu kecamatan, yaitu Kecamatan Rupat. Pada 2001, kecamatan Rupat Utara dimekarkan dari Kecamatan Rupat. Secara administratif, kedua kecamatan ini berada di Kabupaten Bengkalis.
Saya dan tiga puluh enam mahasiswa lainnya berangkat dari Fakultas Teknik pada 29 Desember 2013. Kami berkumpul di lobby terlebih dahulu untuk memastikan kesiapan teknis maupun non teknis sebelum keberangkatan.
“Di Pulau Rupat tidak ada SPBU, yang ada pertamini dan eceran. Di jalan nanti kita harus tetap kompak.” Kata Takin, yang sedang memimpin briefing.
“Tetap kompak, jaga alur rombongan. Jalan yang kita lalui lintas timur. Cukup banyak kendaraan gede“ kata Rezki Yusuf. Ia cukup hatam kondisi jalan ini. Selama kuliah, hampir tiap minggu ia pulang kampung. Ia sendiri tinggal di Kelurahan Bumi Ayu, Kecamatan Dumai Selatan, Kota Dumai.
Setelah berdoa bersama, kami lalu berangkat pada pukul sembilan pagi.
Sekitar 25 menit berangkat, kami berhenti sebentar di seberang Stadion Kaharudin Nasution buat memastikan lengkapnya anggota, setelah sempat terpisah karena ada yang mengisi bahan bakar dan menambal ban yang bocor.
Melewati Rumbai, hujan ringan mulai turun, namun kami putuskan untuk tetap jalan. Kami terpaksa berhenti di sebuah warung dekat Simpang Gelombang-Petapahan ketika hujan telah lebat. Jaraknya sekitar 70 Km dari tempat kami memulai perjalanan. Kami pesan kopi panas sembari menunggu hujan reda.
Tak terhitung berapa kali kami berteduh di jalan menjelang sampai Kota Dumai. Kami sempat berhenti cukup lama di Kandis dan di Duri. Alhasil, waktu yang dihabiskan dari Pekanbaru menuju Dumai total sekitar 9 jam dengan menggunakan sepeda motor. Idealnya, perjalanan ini membutuhkan waktu 4-5 jam saja. Yang terbaru, ia bisa ditempuh dua jam saja bila melalui tol.
Malam itu kami menginap di rumah Rezki Yusuf. Disini kami beristirahat sejenak sebelum melakukan perjalanan lagi esok harinya.
Di Selat Malaka, Di Ujung Tengah Sumatera
Pagi Hari tanggal 30 Desember kami bersiap untuk meneruskan perjalanan. Usai sarapan, kami memastikan lagi tak ada barang yang tertinggal, kondisi motor yang aman dan bensin yang terisi. Setelah pamit dengan si empunya rumah, kami langsung berangkat menuju Pelabuhan Bandar Sri Junjungan yang terletak di Kecamatan Dumai Barat.
Dari sinilah nantinya kami menyeberang ke Pulau Rupat menggunakan kapal Ro-ro. Biayanya lima belas ribu rupiah per motor.
Motor disusun dengan sangat rapat di dasar kapal, kami naik ke ruang tunggu lantai dua untuk berisirahat, memainkan gawai, menikmati hiburan yang ada di tv dan membeli makanan di kantin.
Merasa bosan di sana, kami semua memutuskan naik ke geladak menikmati pemandangan laut lepas. Hari itu cuaca cerah tak seperti sehari sebelumnya.
Setelah seluruh barang dikumpulkan di satu tempat, kami berfoto bersama. Hasil foto itu masih jadi foto profil grup whatsapp angkatan kami sampai hari ini.
Tiga puluh menit di atas kapal, kami tiba di Pelabuhan Roro Tanjung Kapal, Kecamatan Rupat.
Pelabuhan ini letaknya di sisi selatan Pulau Rupat. Sedangkan pantai yang hendak dituju berada di sisi utara. Untuk mencapainya, mesti melewati bagian timur pulau ini.
Jalan yang kami lalui saat itu masih banyak yang rusak, baik jalan yang pernah disemenisasi maupun yang belum. Jalan tanah yang dilalui banyak yang berlumpur disebabkan hujan yang lebat sehari sebelumnya.
Jalan yang licin membuat kami mengurangi kecepatan. Yang duduk di belakang mesti turun dan berjalan kaki terlebih dahulu sampai motor kembali ke jalan yang lurus cukup baik.
Tak jarang kami harus masuk ke hutan dan melewati semak belukar hingga masuk ke kebun karet warga. Itu pilihan yang harus diambil daripada harus mendorong motor di jalan berlumpur yang cukup panjang.
Di Kelurahan Pergam. Kami berhenti karena ada mobil yang terpuruk di tengah jalan. Mobil milik Pemda Bengkalis ini menutupi jalan. Satu unit mobil bak terbuka BNPB berusaha menariknya dari depan. Beberapa dari kami turun dari motor buat membantu mendorong mobil tersebut.
Di depan mobil tersebut berjejer belasan batang kayu berdiameter 15 sentimeter dengan panjang 2 meter. Kayu tersebut diletakkan agar ban mobil bisa melibas jalan yang berlumpur.
Karena cukup banyak titik jalan yang rusak, kami sempat terpecah rombongan di jalan. Oleh karena itu, kami minta Takin sebagai Safety Officer (SO) di posisi depan dan Rezky Yusuf sebagai End Sweeper di belakang memastikan rombongan tak ada yang ketinggalan.
Kami tiba di penginapan di desa Teluk Rhu pada sore hari, melebihi perkiraan kami, dimana seharusnya tiba pada siang hari.
Bangunan dua lantai yang sebagian besar berbahan kayu ini langsung menghadap Selat Malaka. Untuk dindingnya terdiri dari papan kayu yang dicat biru muda. Atap pelananya menggunakan seng dan di bagian depan terdapat ornamen selembayung.
Di sekitar penginapan ada warung dan gazebo panggung. Warung letaknya berada di sebelah kiri penginapan yang sama-sama menghadap laut, sedangkan gazebo berada di sebelah kanan penginapan.
Letak penginapan sekitar dua puluh meter dari tepi pantai. Pantai ini merupakan salah satu bagian dari garis pantai pasir putih terpanjang di Indonesia, yang membentang di sisi utara dan timur pulau rupat.
Di tepian pantai tersebut ada barisan pohon cemara yang tingginya mencapai sepuluh meter.
Di sekitar pepohonan terdapat bangku kayu. Kami duduk disini beristirahat menikmati angin sore setelah meletakkan barang di penginapan. Sebagian lagi memilih duduk di warung. Sebelum malam, kami sempatkan main ke tepi laut, menghibur diri setelah perjalanan yang cukup melelahkan.
Saat hari sudah mulai gelap barulah kami kembali ke penginapan. Hardi bersama teman yang lain mendirikan dua buah tenda yang kami sewa tak jauh dari gazebo.
Ramai di Pantai
Esoknya, hari terakhir di tahun 2013 kami lakukan diskusi dengan kelompok masing-masing sebelum pengambilan video. Kami membahas terkait wawancara dengan narasumber dan footage yang akan diambil. Setelah berdiskusi selama kurang lebih dua jam, mulailah kami berpencar sesuai kelompok untuk memulai pengambilan gambar.
Objek pengambilan gambar kami berada di dua desa, yaitu Teluk Rhu dan Tanjung Medang. Dua desa ini memang bersebelahan. Jarak pusat permukimannya antar desanya pun juga tak jauh. Tanjung Medang merupakan ibukota Kecamatan Rupat Utara, sehingga pusat kegiatan lebih banyak disini.
Sebelum berangkat menggunakan motor, saya dan beberapa teman susuri pantai terlebih dahulu dengan berjalan kaki pada pagi harinya.
Disana banyak perahu kecil dengan layar kain yang berwarna cerah. Namun perahu ini tidak untuk dinaiki manusia. Ukurannya beragam, mulai dari satu setengah hingga dua meter. Perahu jong namanya, ia terbuat dari kayu pulai.
Perahu ini digunakan sebagai alat permainan Jong. Permainan ini dapat dijumpai di daerah pesisir Riau maupun Kepulauan Riau.
Cara permainannya, pemain akan membawa perahu jong ke arah laut. Secara bersamaan perahu akan dilepas menuju arah pantai. Yang pertama kali sampai ke pantai jadi pemenangnya.
Penasaran, Kiki lalu meminta izin kepada panitia buat memainkannya. Kiki bawa perahu itu ke arah laut, lalu melepasnya. Saya dan yang lain menunggu perahu tersebut di pantai. Kami lalu bergantian mencobanya.
Saat sore, kami mulai berangkat menuju pantai di Tanjung Medang menggunakan sepeda motor.
Di sepanjang jalan terlihat rumah warga yang sebagian besar merupakan rumah panggung, lantai rumah berada dua puluh sampai empat puluh sentimeter dari dasar tanah. Umpak atau batu telapak menopang dari permukaan tanah. Untuk dinding banyak yang menggunakan papan dengan pola pemasangan tindih kasih dan susun sirih.
Beberapa rumah dijadikan homestay oleh si empunya rumah. Biayanya mulai dari Lima Puluh Ribu sampai Dua Ratus Lima Puluh Ribu rupiah, tergantung dengan fasilitas yang disediakan. Kebanyakan homestay menggunakan dinding bata.
Homestay bisa jadi pilihan pelancong saat berkunjung ke rupat utara selain wisma.
Di Pantai Tanjung Medang sudah mulai ramai. Banyak pedagang berjualan, baik makanan, kaos ataupun pernak pernik. Karena sedang akhir tahun, ada juga yang menjual terompet dan kembang api. Umbul-umbul bermacam warna terlihat di sepanjang jalan.
Ini karena sedang berlangsung Festival mandi safar. Untuk puncak festivalnya sendiri diadakan esok harinya.
Di sana kami berjumpa dengan Pak Eduar, Kepala Dinas Kebudayaan Paariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bengkalis. Ia baru tiba di Rupat, pagi harinya. Sore harinya ia membuka perlombaan menembak sumpit.
Sambil meletakkan mic megaphone di depan mulutnya, Pak Eduar beri sedikit kata sambutan kepada para peserta. Ia berpesan agar tradisi ini tetap ada dan jangan sampai punah.
Para peserta merupakan warga suku akit. Mereka menggunakan pakaian adatnya yang berwarna putih.
Dari buku Suku Akit di Rupat Utara yang ditulis Julianus P Limbeng, delapan puluh persen penduduk di Kecamatan Rupat Utara merupakan Suku Akit. Kata Akit berasal dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit, orang rakit atau tukang rakit.
Sumpit merupakan senjata tradisional suku akit yang digunakan untuk berburu atau pertahanan diri. Senjata ini semacam Sipet di Kalimantan atau Tulup di Nusa Tenggara Barat.
Sumpit biasa digunakan para pria suku akit untuk menembak monyet dan babi yang merusak kebun mereka.
Alat sumpit terbuat dari bambu sepanjang dua setengah meter yang dilubangi pada kedua ujungnya, yang disebut batang punak. Anak panahnya terbuat dari rebung dan di ujungnya, diberi getah ipuh – atau upas – yang beracun.
Pada masa sekarang, sumpit jarang dilakukan dan hanya ditampilkan saat acara tertentu saja, salah satunya saat perayaan mandi safar ini. Pada Festival kali ini, racun ipuh tidak digunakan.
Cara memainkannya sederhana, yaitu dengan memasukkan peluru ke dalam bambu, kemudian ditiup dan diarahkan ke sasaran. Jarak dari tempat meniup ke sasaran sekitar 15 meter.
Panitia menawarkan ke kami untuk mencoba menggunakan sumpit tersebut setelah perlombaan selesai. Pak Chec, seorang tokoh adat setempat memandu kami terlebih dahulu dalam menggunakannya.
Kami secara bergantian diberi lima kesempatan untuk membidik sasaran yang dituju. Sama seperti papan untuk panahan ataupun menembak, papan tujuan sumpit ini memiliki pusat lingkaran bernilai lima poin, dan yang paling kecil satu poin.
Setelah mencoba, saya hanya dapatkan satu poin. Hasil yang sangat buruk. Kabar baiknya, tak ada anak panah yang mendarat di penonton sekitar arena.
Ketika Pak Eduar sedang santai, kami minta izin buat melakukan wawancara video dengan beliau.
“Kalian darimana”? tanya Pak Eduar
Kami mahasiswa dari Pekanbaru pak, Prodi – sebelum berubah menjadi jurusan – Arsitektur Unri, jawab kami.
“Oh dari Pekanbaru ya? Saya kebetulan tinggal di Pandau juga”
“Kami sedang bikin film dokumenter di Rupat Utara, pak. Untuk Mata Kuliah Arsitektur Pesisir.”
Kami bergantian mewancarai beliau. Pertanyaan tentunya berbeda setiap kelompok, sesuai dengan tema film kami masing-masing.
Pak Eduar mengapresiasi film yang hendak kami bikin. Tak lupa ia mempromosikan daerah-daerah yang lain yang ada di Pulau Rupat usai wawancara. Ada pantai beting aceh, pantai pesona, pantai ketapang dan pantai lainnya.
Beliau juga jelaskan bahwa Rupat sudah didaftarkan menjadi destinasi pariwisata tingkat nasional. Namun, ada kendala dimana akses darat dari Rupat Selatan menuju Rupat Utara yang masih banyak rusak. Ia berharap dukungan semua pihak, baik pemda kabupaten, provinsi maupun pusat.
Kami sepakat dengan Pak Eduar, sebab sehari sebelumnya kami merasakan jalan rusak yang beliau sampaikan.
Setelah seharian menjelajah kawasan pantai dan sekitarnya, kami kembali ke penginapan menjelang maghrib. Sembari menikmati kopi dan gorengan di warung penginapan, kami memindahkan foto dan video dari kamera ke laptop agar masih ada ruang di memori kamera untuk pengambilan gambar selanjutnya.
Caru di Tahun Baru
Malam tiba, lautpun mulai surut.
Kami cari tempat di tepi pantai buat berkumpul. Kami bentangkan spanduk di pasir, dan duduk melingkari api unggun yang kami bikin.
Tak hanya untuk menghangatkan badan karena dinginnya angin darat, api unggun ini digunakan buat bakar ikan. Ikan yang sudah dibakar diletakkan di atas daun pisang dan dinikmati bersama.
“Ikan Gonting namanya di tempat kami,” kata Putra Burma, saat melihat Ahmad membawa tiga ekor ikan ke penginapan. Secara umum, ikan ini lebih dikenal dengan nama caru. Ikan ini hidup di perairan pantai hingga kedalaman 80 meter di bawah permukaan laut.
Untuk meramaikan suasana, Awliya Rahmat dan kawan-kawan bergantian memainkan gitar kecil, mengiringi nyanyian teman-teman lainnya.
Obrolan dan nyanyian terhenti saat terdengar letusan di udara. Pandangan kami berpindah sejenak ke atas, melihat percikan kembang api yang dinyalakan Rezki Yusuf. Ini artinya Tahun 2013 sudah berakhir.
Hardi kemudian ikut menyalakan lagi kembang api, kali ini ia bawa jauh agak ke tepi laut.
Ada empat kembang api yang diledakkan malam itu. Letusan itu bak alarm yang mengingatkan kami agar kembali ke penginapan.
Festival Mandi Safar
Hari pertama di Tahun 2014 bertepatan dengan puncak perayaan mandi safar. Ritual ini menjadi tradisi turun temurun di Rupat Utara.
Dalam Jurnal yang ditulis Muhammad Ashsubli, upacara mandi safar ini dimulai sejak tahun 1950. Pak Dollah, pengurus Lembaga Adat Melayu Rupat Utara salah satu narasumbernya mengatakan tradisi ini dibawa dari pesisir pantai di Malaysia. Masyarakat Rupat Utara sering membaur dengan masyarakat Malaysia karena asalnya kedua kelompok masyarakat ini adalah satu.
Sekilas, ritual ini mirip dengan mandi balimau di Kampar atau petang megang di Pekanbaru, bedanya di Rupat Utara dilaksanakan pada bulan Safar. Ritual ini dimaksudkan untuk menghilangkan bala.
Syaukani al-Karim, budayawan Bengkalis dalam jurnal yang sama mengatakan bahwa pada mulanya safar diartikan sebagai kosong. Pada masa lampau, kaum-kaum awal dan masyarakat di Jazirah Arab pra Islam, menjadikan bulan Safar sebagai bulan peperangan, mereka meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Mungkin saja dalam hal ini, safar dipandang sebagai bulan dukacita dan airmata.
Dalam tafsir lain, safar juga disebut bulan tiupan angin. Dari sudut pandang musim, dipandang kurang menguntungkan dan karenanya sejumlah aktivitas tidak dapat dilakukan secara maksimal. Barangkali dari kegagalan ini kebanyakan masyarakat menganggap bulan Safar sebagai bulan penuh bala.
Sayangnya, kami tak sempat melihat puncak festival mandi safar itu. Pagi itu juga kami berangkat pulang menuju Pekanbaru. Kami memutuskan untuk pulang lebih awal agar ada waktu yang cukup banyak untuk istirahat setelah sampai Pekanbaru, mengingat tugas DA dan SK masih harus dikerjakan menjelang UAS.
Kami tiba di Pekanbaru pukul tanggal dua dinihari dan langsung mencari tempat makan di Jalan Nangka. Selesai mengisi perut dan ngobrol sejenak, kami berpisah kembali ke tempat tinggal masing-masing.
***
Di sela bermain di pantai kami sempat ngobrol santai dengan Pak Rijal.
“Kenapa tugasnya bikin film dokumenter pak?,” tanya saya.
“Pembuatan film dokumenter ini sebagai salah satu bentuk yang dapat mempengaruhi masyarakat agar terus memikirkan masa depan lewat audio visual, meski dengan cara sederhana, hanya memaparkan justifikasi dan risetnya rendah. Lewat kegiatan ini juga diharapkan mahasiswa-mahasiswa peduli dengan kawasan pesisir di daerah kita yang masih banyak tertinggal’” jawab Pak Rijal.
Enam belas hari setelah kembali dari Rupat, tiap kelompok bergantian menayangkan filmnya di Ruang Prodi Arsitektur. Setelah itu, Pak Rijal memberikan pertanyaan, serta saran dan masukan terkait film yang telah dibuat. Pak Rijal juga mengomentari footage dalam film kami sama tiap kelompoknya.
Sepulangnya dari Rupat, kami memang saling berbagi file footage dan dokumentasi antar kelompok.
“Meskipun begitu, fokus dari tiap kelompok tetap berbeda.” kata Rezky Yusuf.
Film dokumenter kami dapat disaksikan di youtube. Tim Gihon bikin film dengan tema Rumah Layak Huni, Tim Sepli berfokus pada kegiatan nelayan di pesisir Rupat. Tim Ikrom mengangkat tema Pariwisata di Rupat Utara, dan Tim Windi mengangkat Penggalian dan Pengembangan Nilai Tradisional Rupat Utara. Film terakhir yang disebutkan juga menampilkan cukup lengkap sekilas perjalanan kami dari kampus hingga ke Rupat Utara.