Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Di atas speedboat seorang pria yang mengenakan topi baret terus melihat ke arah sisi darat. Ia tengah menunggu saya dan belasan mahasiswa Kukerta yang akan ikut berangkat bersamanya menyusuri Selat Air Hitam di Kecamatan Tebingtinggi Timur,Kepulauan Meranti.
Speedboat akan berangkat, namun mahasiswa yang ditunggu belum juga terlihat.
Pukul Delapan lewat lima belas menit, kami tiba di pelabuhan dengan menggunakan motor roda tiga pengangkut barang. Kami turun satu per satu dan berlari menuju kapal yang sudah lama menunggu. Sebelum menaiki kapal, tak lupa kami berpamit kepada Bang Ap, pengemudi motor yang membantu mengantar kami ke pelabuhan dari posko.
Pak Rafiq, pengajar di Madrasah Aliyah Swasta Sungaitohor yang telah menunggu kami tampak lega. Yang lega tak hanya ia, semua penumpang dan nahkoda pun turut lega. Sebab mereka juga ikut menunggu kami. Agar kapal bisa berangkat.
Speedboat itu bernama Kepau Jaya, salah satu transportasi andalan masyarakat tebingtinggi timur jika hendak menuju Ibu Kota Kabupaten, Selatpanjang. Masyarakat sekitar biasa menyebut kapal ini dengan Apeng, nama si empunya kapal.
Pak Rafiq katakan kepada pihak Apeng untuk menunggu sebentar karena masih ada yang belum masuk kapal.
Setelah kami semua masuk, nahkoda pun menggerakkan kapal cepatnya menuju arah Selatpanjang.
Raut muka cemberut tampak pada sebagian penumpang.
Tujuan kami adalah Nerlang, sebuah kampung yang terletak di Desa Sungaitohor Barat.
Pak Rafiq mengajak kami untuk ikut mengajar di Sekolah Layanan Khusus. Para siswanya merupakan anak-anak suku akit, salah satu suku pedalaman yang ada di Riau. Selain menjadi pengajar di madrasah aliyah di Sungaitohor, ia juga kepala sekolah di sekolah ini.
Masyarakat Suku Akit umumnya tinggal berpindah-pindah, mereka tinggal dalam kawasan hutan dan tepi sungai. Para orang dewasa biasa bekerja sebagai penggolek tual sagu, atau sebagai nelayan. Anak-anak mereka kadang ikut membantu.
“Mereka sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan” kata Pak Rafiq.
Lima belas menit berjalan, kapal apeng merapat ke suatu Jambat, dermaga kecil di tepi laut.
Jambat sederhana itu panjangnya 25 meter dengan lebar 2 meter. Kayu-kayu berdiameter sekitar 15 centimeter yang menopangnya.
Sampan sampan dan hutan bakau menyambut kedatangan kami.
Usai melewati jambat, kami berjalan menuju arah hutan. Jalan setapak yang kami lewati diapit oleh pohon-pohon sagu yang hijau. Sesekali terlihat batang-batang sagu yang kehilangan daunnya.
“Itu bekas kebakaran hebat tahun lalu,” ujar Pak Rafiq. Kebakaran itu yang membuat Jokowi datang ke Sungaitohor, pada akhir 2014.
Jalan yang kami lewati masih tanah. Sesekali kami bertumpu di atas rangkaian bidang papan setebal 2 senti sebagai pijakan dengan panjang 3 meter dan lebar 15 centimeter.
Lima belas menit berjalan kami tiba di sebuah bangunan kayu beratap rumbia berukuran enam kali lima meter. Poster edukasi seperti alfabet, nama buah dan kepala negara tertempel di dindingnya. Inilah bangunan sekolah yang Pak Rafiq maksud. Tiap hari ahad ia mengunjungi sekolah ini.
Anak-anak yang semula berkeliaran di luar langsung masuk ke dalam ketika Pak Rafiq mulai masuk. Ada yang mengenakan seragam sekolah dasar lengkap dengan sepatu dan kaos kaki, ada yang hanya mengenakan seragam tak beralas kaki, dan ada yang hanya menggunakan baju klub barcelona.
Karena kecilnya ruangan kelas ini, saya dan teman-teman memilih melihat dari luar. Ruangan hanya cukup untuk murid-murid dan guru yang mengajar. Saat Pak Rafiq mempersilahkan kami masuk, barulah kami ke dalam untuk memperkenalkan diri secara bergantian.
Di luar kami tak sendiri, ada perempuang-perempuan yang antusias melihat anaknya belajar. Jika sudah dekat hari ahad, mereka senang bukan main. Akan datang guru dari desa sebelah yang akan mendidik putra-putri mereka.
Pada 17 November 2013, Pak Rafiq datang ke Nerlang bersama rombongan dari UPTD Pendidikan Tebingtinggi Timur. Tujuan mereka adalah mendirikan sekolah disana, agar masyarakat suku Akit dapat belajar menulis dan membaca sehingga tidak ada buta huruf di Nerlang.
Awalnya diadakan sosialisasi di rumah Pak Saleh, salah seorang warga yang berprofesi sebagai penebang sagu. “Suasana nya ramai, ada sekitar 50 orang dalam satu rumah, ukuran lebar 5 panjang sepuluh meter”, kata Pak Rafiq.
Meski belum ada mengenyam pendidikan, menurut Pak Rafiq mereka cukup toleran. Mereka tak memberi hidangan kopi atau teh khas mereka. Air gelas mineral dan kue bungkusan yang dihidangkan kepada tamu.
Masyarakat sangat mendukung sekolah yang direncanakan Pak Rafiq. Namun mereka juga berharap sekolah tersebut dapat bertahan dan semangatnya tidak hanya di awal. Jangan anget-anget taik ayam.
Pak Rafiq mencoba meyakinkan kepada warga bahwa ia akan terus berupaya untuk membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah terus diadakan.
Akhirnya pada hari itu juga warga bersepakat akan mendirikan sekolah di Nerlang.
Sekolah tersebut bernama Sekolah Pendidikan Layanan Khusus Ikhlas Hati Ibu yang berada di bawah Yayasan Iklhas Hati Ibu, milik istri Rafiq. Warga tidak dikenakan biaya dalam kegiatan belajar tersebut. Enam orang guru didatangkan dari Sungaitohor.
Kegiatan belajar pun dimulai.
Awalnya kegiatan belajar menumpang di rumah ibu Minah, salah satu tokoh masyarakat disana. Jumlah siswa yang belajar sekitar tiga puluh orang. Tak hanya dari Nerlang, tapi ada juga lima murid yang dari Pulau Rangsang. Sebagian ada yang menginap terlebih dahulu sehari sebelum sekolah, sebagian ada juga yang berangkat sejak pagi ahad. Untuk sampai ke Nerlang, mereka mesti mendayung sampan sekitar 45 menit menyeberangi laut.
Selain diikuti oleh anak-anak, para orang tua yang mengantar anaknya pun juga ikut belajar. Dari luar.
“Di rumahnya ada kedai, terus dibangun selaso jadi bisa dibagi dua kelompok, (anak-anak) yang besar di luar, yang kecil di dalam. “ ujar Bu Eti, salah satu guru yang membantu Pak Rafiq.
Saat awal-awal Bu Eti masih merasa takut mengajar mereka karena katanya mereka punya ilmu bathin. “Saya sampai sekarang tak pernah menjewer, paling cuman mencolek saje,” kata Bu Eti. Meski sang orang tua murid sendiri yang meminta untuk anaknya dijewer jika salah.
Berjalan enam bulan, Pak Rafiq dan tim meminta bantu untuk dibangunkan sekolah dengan Kepala Desa Sungaitohor Barat dan warga. Maka dibangunlah sekolah ini dengan swadaya masyarakat. Yayasan sediakan paku, sedangkan papan dan atap rumbia dari masyarakat.
Di sekolah itu, kami membagi tim menjadi dua. Satu tim mengajar berhitung, satu tim mengajar membaca. Anak-anak tampak antusias belajar. Sesekali canda dari para murid membuat seisi ruangan terawa.
Sembari kami mengajar, Pak Rafiq berbincang dengan para wali murid. Mereka berbincang mengenai perkembangan para siswa dan keadaan di Nerlang.
Setelah kegiatan belajar mengajar selesai, Pak Rafiq meminta anak-anak meminta untuk mencabut rumput ilalang yang ada di halaman sekolah. Suatu rutinitas yang dilakukan anak-anak usai belajar. Setelah makan siang, kami bergegas kembali menuju jambat untuk segera pulang ke Sungaitohor. Di perjalanan, kami melihat 50 rumah layak huni yang sedang dibangun oleh pemerintah.
Apeng Tiba, kami pun berangkat pada pukul 13.30. Perjalanan dari dari Sungai Tohor ke Nerlang dikenakan biaya Tiga Puluh Ribu Rupiah. Artinya, Pak Rafiq mesti menyediakan Seratus Delapan Puluh Ribu Rupiah untuk memberangkatkan tiga orang guru ke Nerlang tiap minggunya.
Beruntung, Apeng memberi
keringanan kepada Rafiq. “Dia tahu kita kita pergi ngajar, asal bayar saja.” Ujar
Bu Eti.
***
Perjaanan kami ini dilakukan pada 2015, artinya sudah 5 tahun yang lalu. Sekolahnya masih berdiri. Tentu sudah banyak yang berubah. Meski hanya 5 jam, banyak pelajaran dan cerita menarik yang kami dapat dari Pak Rafiq dan timnya.
Pak Rafiq satu dari contoh pendidik yang tulus mengabdi buat bangsanya. Salam Takzim buat beliau. Selamat Hari Pendidikan, untuk semua insan yang membagikan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain.