Bangunan Simetris itu terlihat berbeda dari bangunan di sekelilingnya. Atapnya berbentuk limas yang diberi dua kubah di atasnya. Bangunan ini menjadi dua bagian yang berbeda setelah dilakukan renovasi pada 2010. Pasalnya pembangunan hanya menyentuh bagian depan sementara bagian belakang masih terlihat seperti bangunan lama.
Ia lah sebuah bangunan yang dikenal masyarakat sebagai Istana Kerajaan Gunung Sahilan. Terletak di Kecamatan Gunung Sahilan yang sekarang menjadi bagian wilayah administrasi Kabupaten Kampar. Kecamatan Gunung Sahilan merupakan pemekaran dari kecamatan Kampar Kiri. Sekarang istana ini dijaga oleh Azirman yang menikahi Sarbiati, cucu dari raja terakhir, Tengku Sulung.
Dalam buku Sejarah Adat Istiadat Kampar Kiri yang ditulis Tengku Haji Ibrahim, Sekretaris Kerajaan Gunung Sahilan pada 1939, Raja pertama Kerajaan Gunung Sahilan merupakan keturunan Raja Pagaruyung, bernama Tengku Yang Dipertuan Bujang Sakti bergelar Sultan Panyubayang. Memerintah pada tahun 1700 hingga 1730. Dalam buku itu Kerajaan Gunung Sahilan juga ditulis sebagai Kerajaan Kampar Kiri.
Dalam portal media Melayuonline.com, sebelum Kerajaan Gunung Sahilan berdiri, di wilayah Kampar Kiri pernah berdiri satu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Sultan. Pemerintahan ini bernama Kesultanan Kuntu. Kesultanan Kuntu didirikan oleh Kesultanan Aru Barumun yang telah memeluk Islam. Kesultanan Aru Barumun sendiri didirikan oleh kerajaan Samudera Pasai pertama, Sultan Malik As Saleh pada 1299.
Wilayah Kesultanan Kuntu dialiri sungai Kampar. Sungai ini menjadi bandar perdagangan rempah-rempah pada masa kekuasaan Kesultanan Aru Barumun. Sungai lain yang juga merupakan satu garis perdagangan adalah sungai Batanghari. Kedua sungai ini menjadi jalur perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagangan dari mancanegara, termasuk dari India dan Gujarat. Kedua sungai ini juga merupakan urat nadi perekonomian Kerajaan Darmasraya sebelum ditakluk oleh Kesultanan Aru Barumun.
Masih dalam Melayuonline.com, takluknya Kesultanan Kuntu tidak terlepas dari ekspedisi Pamalayu dua yang dilancarkan oleh Kerajaan Majapahit. Sebelum Kerajaan Darmasraya takluk di bawah kekuasaan Kesultanan Aru Barumun, Kerajaan Darmasraya yang dipimpin oleh Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa terlebih dahulu tunduk atas ekspedisi Pamalayu satu yang dilancarkan oleh Kerajaan Singasari.
Atas keberhasilan Kerajaan Singasari, Dara Petak dan Dara Jingga putri Raja Darmasraya dikirim ke Jawa dan menikah dengan Raden Wijaya. Raden Wijaya lalu mendirikan Kerajaan Majapahit karena Kerajaan Singasari telah runtuh.
Kerajaan Majapahit semakin berkembang di tanah Jawa. Mengetahui Kerajaan Darmasraya dikuasi oleh Kesultanan Aru Barumun, Kerajaan Majapahit melancarkan ekspedisi Pamalayu dua. Ekspedisi ini dipimpin oleh Adityawarman anak dari Adwayawarmma, petinggi kerajaan Majapahit. Adwayawarmma juga menikahi anak Raja Darmasraya bernama Dara Jingga.
Aditywarman berhasil mengambil alih kekuasaan Darmasraya dari Kesultanan Aru Barumun pada 1347. Termasuk berhasil menaklukan Kesultanan Kuntu pada 1349. Dengan kata lain, sungai Kampar Kiri dan sungai Batanghari berhasil dikuasai. Adityawarman lalu mendirikan Kerajaan Pagaruyung.
BERDIRINYA kerajaan Gunung Sahilan dibagi dalam lima luhak. Masing-masing luhak Kuntu, luhak Ujung Bukit, luhak Batu Sanggan, luhak Ludai dan Luhak Gunung Sahilan. Tiap luhak dipimpin seorang Khalifah dan diberi tanggung jawab dan wewenang yang berbeda.
Khalifah di Gunung Sahilan diberi kewenangan mengurus hal-hal dalam istana seperti perencanaan, jadwal pertemuan kunjungan raja dan segala sesuatu yang menyangkut istana. Khalifah Ujung Bukit berwenang mengatur urusan keagamaan. Mengurusi masalah keamanan merupakan kewenangan Khalifah Batu Sanggan. Khalifah yang tidak diberi kewenangan apa pun adalah Khalifah Ludai. “Karena dia anak Raja,” kata Bustamir. Bustamir seorang Khalifah di Kuntu yang dalam masa Kerajaan Gunung Sahilan diberi kewenangan mengurusi masalah adat istiadat. Khalifah Kuntu pertama yang menjabat bergelar Datuk Rajo Godang.
Berkaitan dengan adat istiadat, mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan hewan dan manusia dan alam.
Dalam hal hubungan manusia dan alam, adat istiadat mengatur urusan dalam hal mengelola hutan ulayat. Kata Bustamir, alam itu anugerah Tuhan dan harus dilestarikan. “Hancur hutan hancur pula lah binatang,” tegas Bustamir.
Dalam hal mengelola hutan ulayat, masyarakat Kerajaan Gunung Sahilan mengenal sistem pancung alas. Pancung alas merupakan sistem bagi hasil antara pengolah hutan ulayat dengan pengelola. Pengelola hutan ulayat dipercayakan pada Penghulu suku. “Pengulu suku itu tidak satu orang, kalau satu orang habis hutan dijual,” kata Bustamir sambil tertawa.
Dalam buku Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau yang disusun oleh tim Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau, pemakaian hasil-hasil hutan telah diawasi sedemikian rupa dengan keharusan meminta izin dengan Penghulu Negeri atau pembesar adat seperti Datuk.
Ada ungkapan-ungkapan dalam hal pengolahan alam. Kehutan berbunga kayu, ke ladang berbunga emping, ke jurang berbunga pasir, ke tambang berbunga emas, dan kelaut berbunga karang. Artinya, dalam setiap pengolahan alam harus ada pembagian hasil. Pembagian itu sebesar 2,5 persen dari hasil olahan. Kata Bustamir, hasil dari pembagian itu digunakan untuk pembangunan kampung, masyarakat bahkan untuk kegiatan sosial.
Tengku M Syukur Thaydis menulis Dalam buku rangkuman Adat Istiadat Kampar Kiri, hutan ulayat bukanlah milik Raja, bukan milik Khalifah, dan bukan pula milik Penghulu adat, melainkan milik bersama dari suku yang dikelola dan dilindungi secara bersama-sama oleh pemilik tanah ulayat tersebut.
Tengku M Syukur Thaydis anak dari Tengku H Abdullah yang Dipertuan Sakti, Raja terakhir Gunung Sahilan.
Adat istiadat yang berlaku juga mengatur tata cara perkawinan. Sebelum meminang, antara laki-laki dan perempuan harus melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu jika merasakan kecocokan pihak laki-laki mengantarkan tanda ke pada pihak perempuan. Ungkapan adat mengatakan, ompeh-ompeh bumbun tinjau-tinjau jurang. Maksudnya, pihak laki-laki biasanya mengantar tanda berupa kain terlebih dahulu. Kain yang dihantarkan ke pihak perempuan akan diserahkan terlebih dahulu oleh pihak perempaun tersebut kepada nenek mamak yang bersangkutan. “Kalau nenek mamak setuju, kain itu diserahkan kembali pada pihak laki-laki,” kata Bustamir sambil menghisap rokok.
Dari sinilah pinangan dimulai dengan memberi tanda berupa cincin. Cincin yang diberikan merupakan cincin adat atau cincin pusaka. Ketika tanda sudah diberikan, antar laki-laki dan perempuan sudah memiliki kesepakat yang kuat dan dilarang berulah. Jika perempuan mangkir dari janji maka pihak perempuan harus mengganti cincin tersebut dua kali lipat. Jika laki-laki yang mangkir dari perjanjian maka cincin yang telah diantar menjadi milik pihak perempuan.
Dalam kebiasaan perkawinan biasanya tidak terlepas dari yang namnya kenduri. Besar atau kecilnya perhelatan kenduri ini dilihat dari proses saat menghantar cincin di pihak perempuan.
Jika saat menghantar cincin dengan iring-iringan, istilah masyarakat, payung baapik, maka akan dihelat kenduri secara besar-besaran. Kata Bustamir, seluruh masyarakat harus diundang tanpa terkecuali. Kenduri yang dihelat secara besar-besaran harus meminta izin terlebih dahulu dengan nenek mamak. Sebab nenek mamak akan memberikan gong dan gong ini akan dibunyikan pada saat kenduri. Namun, kalau menghantar cincin dengan dikepit berarti kenduri yang akan dihelat secara kecil-kecilan.
Dalam masyarakat Kerajaan Gunung Sahilan juga dikenal penegak hukum yang bertugas menyelesaikan perkara orang-orang yang berperkara. Terdakwa dalam masyarakat adat disebut Simudai, juga dikenal Simudalai atau pendakwa. Pengacara yang bertindak dari nenek mamak langsung. Namun untuk Hakim yang bertugas menyelesaikan perkara tidak boleh ada hubungan dengan orang-orang yang berperkara.
Dalam memberi putusan pada masa itu dikenal dengan tiga istilah, abuk baampeh, ini artinya hakim memutuskan berdamai. Miang bakiki yang artinya hakim memberi putusan benar salah. Putusan lain dikenal dengan hukum buang, istilah pada masa itu disebut puntung babasuh. Artinya seorang yang kesalahannya tidak dapat dimaafkan secara agama harus diusir dari kampung.
Adat istiadat ini tetap berlaku meski Belanda mulai masuk pada 1901. Pembesar kerajaan menghadapi Belanda dengan cara diplomasi. Ini dilakukan untuk menghindari peperangan dan korban jiwa. Tengku M Thaydis dalam bukunya menuliskan beberapa persyaratan yang diajukan pada Belanda saat itu. Belanda tidak diperkenankan ikut campur dalam tatanan kehidupan masyarakat, Belanda tidak boleh menyebut Kerajaan Gunung Sahilan sebagai daerah jajahan, serta Belanda harus tunduk dengan Kerajaan.
Seiring kemerdekaan Republik Indonesia, pada 1945 Kerajaan Gunung Sahilan pun memilih menyerahkan Kerajaan pada Republik Indonesia. Faktor lain yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Gunung Sahilan adalah, susahnya mencari pengganti Raja. Sebab yang menjadi Raja harus dari garis keturunan Ibu dan masih dalam lingkup istana. Pada masa itu beberapa keturunan Raja ada yang menikah dengan perempuan di luar kerajaan.
Adat istiadat pun tidak berlaku lagi. “Kini banyak masyarakat Rantau Kampar Kiri yang kurang tahu tentang sejarah Kerajaan Gunung Sahilan,” kata Tengku Sutan Mansur, yang juga anak Raja Terakhir Gunung Sahilan.
Tengku Sahindra yang juga merupakan keturunan kerajaan mengatakan, ayah saya selalu berpesan jangan pernah berkeinginan jadi raja, luruskanlah sejarah terlebih dahulu.#